Coconut Fruit for health benefits

Ibu Mona Meronta Kenikmatan

Sekslover - Ibu Mona Meronta Kenikmatan
Masa Smu adalah masa masa yang memang asyk  dimana hubungan cintaku yang terjadi 3 tahun di SMA dan 3 kali pula aku berpacaran, pertama saat kelas 1 aku berpacaran dengan salah satu cewek populer di sekolahku hubungan kami singkat hanya bertahan 2 bulan.
Saat di kelas 2 aku berpacaran dengan cewek manis hampir satu tahun aku bersama cewek ke duaku, karena sebab yang lain jadi kita putus saat naik ke kelas 3 selang beberapa minggu saat kita putus dan hubungan yang kali ini agak terasa aneh dan tak terduga di mana awal cerita aku sendirian dirumah sedang duduk di depan tv.

Tapi lama kelamaan aku merasa bosan. Aku memutuskan untuk keluar sebentar mencari rokok, mumpung kedua orang tuaku sedang tidak dirumah, dan aku bisa bebas merokok. Dan aku pun keluar dengan sepeda motorku.

Dasar sial warung rokok dekat rumahku tutup semua, dan langit mulai tertutup mendung. Aku ragu sejenak, bingung apakah terus mencari warung yang buka atau pulang saja, tapi setahuku di dekat jalan raya sana ada warung yang buka.

Aku memutuskan tetep mencari rokok ke warung di depan sana. Dan memang akhirnya aku bisa mendapatkan rokok di warung itu. Gerimis mulai turun. Ketika aku sedang tergesa-gesa menyalakan mesin motorku, kulihat seseorang yang kukenal.

“Hei, Bu Mona!” aku memanggil wanita itu. Ia menoleh dan tersenyum sambil menghampiriku.

“Hei Jo! Lagi apa kamu? Beli rokok ya?” tanya wanita itu.

“He.. He.. Ibu tahu aja!” “Sudah Ibu bilang, jangan kebanyakan merokok!” kata Bu Mona,”Nggak baik untuk kesehatan.”

Aku cuman cengar-cengir. Bu Mona adalah guru privat adikku yang masih kelas 6 SD. Seminggu dua kali Bu Mona ke rumahku untuk memberi les untuk adikku. Dan Bu Mona sudah jadi guru les adikku sejak 3 bulan yang lalu.

“Ibu mau ke rumah kan? Bareng yuk, keburu hujan.”S

ejak pertama kali bertemu Bu Mona, diam-diam aku mengaguminya. Ia cantik dan anggun, juga baik hati, cerdas dan ramah. Aku paling suka melihat Bu Mona saat ia menerangkan pelajaran untuk adikku.

Lama-lama rasa kagum itu berubah menjadi cinta, tetapi tetap saja aku tak pernah berani mengatakannya. Ya, jangan kaget, pacar ketigaku-ya-Bu Mona itu. Aku tak peduli beda usia yang cukup jauh (waktu itu Bu Mona berusia 28 tahun, dan aku 18 tahun), aku tetap mencintainya. Hujan semakin deras, dan ketika kami tiba di rumahku, kami benar-benar basah.

“Masuk, Bu. Biar kuambilkan handuk”Dan aku baru tersadar, kalau Bu Mona tampak lebih cantik saat rambutnya basah. Di balik pakaiannya yang basah sekilas tampak lekuk liku tubuh seksinya, membuatku membayangkan hal yang bukan-bukan.

Kami duduk di sofa ruang tengah, mengobrol sambil minum teh hangat.

“Bukannya jadwal lesnya masih 1 jam lagi Bu?” tanyaku.

“Iya sih. Ibu habis dari rumah teman Ibu dekat sini, daripada mondar-mandir, sekalian saja ke sini. Lagipula tadi sudah gerimis.” Kami mengobrol cukup lama.

“Sini Bu, cangkirnya biar diisi lagi.” Aku menawarkan.

“Eh, terima kasih!” Aku menerima cangkir yang diulurkan Bu Mona dan beranjak ke dapur.Saat aku membuatkan teh hangat, pikiran-pikiran kotor yang tadi sempat tertahan kembali muncul.

Aku membayangkan seandainya Bu Mona tak mengenakan apa-apa di tubuhnya yang seksi itu. Dan semakin kubayangkan gairahku semakin menjadi-jadi.

“Ini, Bu!” Aku menaruh cangkir teh di atas meja. Bu Mona tersenyum, “Terima kasih!” Aku masih berdiri di samping Bu Mona.

Dan kulihat ia sedikit bingung, “Ada apa, Jo?” Aku tak tahu kenapa aku bisa begitu nekat waktu itu. Dalam sekejab aku sudah memeluk Bu Mona. Bu Mona sangat terkejut dan berusaha melepaskan pelukanku.

Tapi tenagaku lebih kuat. Kudorong tubuh Bu Mona hingga rebah di atas sofa. “Jo, apa-apaan kamu?” Bu Mona berontak atas perlakuanku. Namun perlukanku semakin erat.

Aku berbisik pelan, “Aku mencintaimu, Bu!” dan kulihat Bu Mona semakin terkejut. Ia diam terpaku untuk sesaat. Aku memanfaatkan waktu sesaat itu untuk merenggut lepas kancing-kancing kemejanya.

“Aku menginginkanmu, Bu!”Kulihat payudara Bu Mona yang bulat berisi di balik bra putihnya. Bu Mona hanya memandangku seakan tak percaya apa yang baru saja terjadi. Ia sudah tak lagi meronta, sepertinya sudah pasrah akan apa yang akan terjadi.

Pelan-pelan kuturunkan roknya, lalu kulepaskan bra putih itu. Di depanku kini tampak jelas payudara Bu Mona yang sungguh indah, pinggang ramping, pinggul seksi, dan kaki-kaki jenjangnya. Tubuh Bu Mona kini hanya tertutupi oleh celana dalam putih.

Tanpa menunggu aku mulai mencumbui tubuh seksi Bu Mona. Mula-mula dari payudaranya. Kumainkan lidahku, kuciumi dengan penuh nafsu, sesekali lidahku memainkan putingnya yang menantang. Kurasakan tubuh Bu Mona tergetar pelan, dan ia mulai mendesah pelan.

Kulanjutkan cumbuanku turun ke arah perut, dan semaki ke bawah. Kulepaskan penutup terakhir tubuhnya. Saat itu kudengar suara Bu Mona memohon pelan.

“Ja.. Jangan, Jo!” Tapi aku tak peduli, aku mulai mencumbu sela-sela paha itu. Harumnya liang kewanitaan Bu Mona membuatku semakin bergairah. Kepalaku kusisipkan di antara kedua paha Bu Mona, dan mulai mencumbu liang kewanitaan yang ditumbuhi bulu-bulu halus.

Kumainkan lidahku di sana, kadang bibirku memainkan klitorisnya hingga tubuh Bu Mona bergetar, dan desahan-desahan pelan terdengar dari bibir Bu Mona saat jariku menyusup ke dalam vaginanya.

“Mmmh, ya!Oh.. Ya, enak.. Oh.. Oh!” Lidah nakalku terus menari-nari di sana, menyalurkan kenikmatan yang mulai membius kesadaran Bu Mona. Sekarang Bu Mona mulai hanyut dalam permainan cumbuanku, desahan dan erangannya mengimbangi tarian lidahku pada klitorisnya.

Kedua pahanya menjepit kepalaku. “Yaa.. Ya!Oh.. Oh, ya sayang.. Teruskan.. Oh.. Oh!” Tak lama kemudian kurasakan getaran hebat tubuh Bu Mona. Erangannya pun terdengar semakin keras,

“AH.. Ya, ya.. Oh sayang.. Aku.. Aku keluar.. Oh ya.. Ooohh!” Bu Mona menggelinjang hibat dan liang kewanitaannya mulai dibanjiri cairan vaginanya, membuat vagina Bu Mona semakin becek. Aku menyapukan lidahku, menjilati cairan itu.

Aku melihat wajah cantik Bu Mona, kini bersemu merah, matanya terpejam, nafasnya terengah-engah, bibirnya mengeluarkan desahan-desahan pelan. Keringat membasahi tubuhnya. Bu Mona membuka matanya, lalu memandangaku.

Masih belum hilang rasa ingin tahu dalam pandangan itu, seakan bertanya ‘Mengapa kamu melakukan ini pada ibu?’ tetapi bibirnya tetap terkatup. Kusambut bibir Bu Mona dengan bibirku. Selama beberapa saat kami berpagutan.

Dan kurasakan Bu Mona mulai membalas ciumanku. Aku mulai melepaskan semua pakaianku. Kini kami berdua sudah tak mengenakan apa-apa lagi. Senjataku sudah tegang sejak tadi, seperti sebuah rudal yang siap ditembakkan.

Ukurannya memang tidak seperti milik bintang film porno yang sering kulihat, tapi cukup besar juga. Bu Mona memandangku dengan tatapan ragu bercampur takut.“Maaf, Bu!” kataku pelan. Kutuntun penisku ke lubang vagina Bu Mona.

Kurasakan Bu Mona sedikit menolak saat kepala penisku menyentuh klitorisnya.

“Ja.. Jangan, Jo! Ja.. Jangan dimasukkan, nan.. Nanti..”

“Ibu nggak usah khawatir, Jo tanggung jawab,” kataku,

“Jo mencintai Ibu!”

“Ta.. Tapi Jo..” Belum selesai Bu Mona bicara, aku sudah menusukkan senjataku hingga masuk setengahnya.

“Ah.. Jo!” Bu Mona mulai meronta. “Tenang Bu!” kupegangi kedua tangannya. Kurasakan lubang vagina Bu Mona yang masih sempit itu menjepit penisku dan meremas-remasnya. Aku bertanya-tanya, apa Bu Mona masih perawan.

Kudorong penisku hingga menyusup lebih jauh. Bu Mona merintih, “Sa.. Sakit Jo..” “Iya.. Iya Bu! Jo pelan-pelan masukinnya.”

Mungkin Bu Mona nemang masih perawan, pikirku. Kulihat titik-titik air mata mulai basahi matanya, dan ada sebagian yang jatuh ke pipinya.

“Jo.. Hentikan! Ja.. Jangan diteruskan!” desah Bu Mona. Kepalang tanggung, pikirku. Dan kulesakkan penisku hingga masuk seluruhnya, sampai-sampai Bu Mona menjerit.

“Ah.. Jo, sakit Jo!”

“Tak apa-apa, Bu. Cuman sebentar sakitnya.”

Kudiamkan penisku di dalam vagina Bu Mona selama beberapa saat, kurasakan pijatan lembut dinding vagina pada penisku.

Terasa nikmat sekali. Lalu aku mulai menggerakkan pinggulku maju mundur, mengocokkan penisku di dalam vagina Bu Mona. Bu Mona mengerang, pada awalnya tedengar rintihan kesakitan, namun lambat laun berganti desahan kenikmatan.

“Ya.. Ya, Oh ya sayang!”Peluh membanjiri tubuh Bu Mona, matanya terpejam seakan-akan menjemput kenikmatan yang datang bertubi-tubi. Desahannya mengiringi gerakan pinggulku.

“Oh, ya.. Oh.. Ouh. Terus sayang! Enak, ja.. Jangan berhenti, oh..” Aku terus memompa penisku keluar masuk, menggesek dindinjg vagina yang basah itu. Kulihat tangan Bu Mona meremas-remas payudaranya sendiri. Kenikmatan sudah menjalari seluruh tibuhnya.

Desahan dan erangan terus menggema di ruangan itu, berbaur dengan deru suara hujan di luar.Tak lama kemudian kulihat Bu Mona menggelinjang hebat, dan dari bibirnya terdengar erangan panjang menendakan ia telah mencapai klimaks.

Kurasakan cairan hangat basahi penisku di dalam vaginanya. “Oh, oh.. Ya.. Ooohh, sayang! Aku keluar, oh.. Oh..!” Dan tanpa sadar tangannya meraihkui dan memelukku erat sambil terus mengerang merasakan kenikmatan puncak yang menguasai tubuhnya.

“Oh.. Oh, ya ough!” Nafasnya tersengal-sengal. “Ya, nikmat sekali, oh..!”Akupun merasa sudah hampir mencapai klimaks, maka kupercepat gerakan pinggulku. Dan sepertinya gerakanku memacu kembali gairah Bu Luna. Kurasakan pinggul seksi Bu Mona mengimbangi gerakan pinggulku.

“Oh.. Ya.. Oh, lagi sayang.. Oh!” desah Bu Mona,”Lebih cepat lagi.. Oh.. Oh!!” Dan tak lama kemudian kurasakan penisku berdenyut-denyut.

“A.. Aku hampir keluar Bu!” kataku,”Keluarin di mana?”

“Oh.. Keluarin saja.. Di dalam.. Nggak apa-apa..” Dan seketika itu juga aku mencapai puncak, penisku memuntahkan banyak cairan mani ke dalam vagina Bu Mona, memenuhi rongga kewanitaannya.

“Ough.. Bu! Aku keluar, Bu! Oh nikmat sekali, oh..!” Bu Mona menggelinjang lagi, ia mencapai klimaks lagi sesaat setelah aku orgasme.

“Ya.. Oh, ya sayang.. Aku juga keluar.. Oh.. Oh..”Tubuh kami bersimbah peluh, aku merasakan sangat lelah. Tubuhku kurebahkan di sofa di samping tubuh Bu Mona. Nafas kami tersengal-sengal. Kulihat wajah Bu Mona yang bersemu merah tampak cantik, ia tersenyum.

“Kau.. Kau nakal Jo!” katanya pelan,

”Tapi aku senang.”

“I.. Ibu tidak marah?” Bu Mona mencium bibirku.

“Aku memang marah pada mulanya, tapi-sudahlah-semuanya sudah terjadi,” katanya, “Kau hebat!”Hujan masih turun dengan derasnya.

Adikku menelpon, katanya ia belum bisa pulang karena hujan belum reda. Dan aku menghabiskan sore itu berdua bersama Bu Mona. Kami masih sempat bermain cinta sekali lagi sebelum kedua orangtua dan adikku pulang.

Sejak saat itu aku merasa hubunganku dengan Bu Mona semakin dekat, selayaknya sepasang kekasih. Bu Mona menjadi lebih ramah padaku. Kadang kalau ada waktu senggang, aku main ke rumah Bu Mona, atau jika rumahku sepi,

Aku mengundang Bu Mona ke rumahku, dan kami bisa menghabiskan sore dengan bermain cinta. Hubungan kami bertahan selama 6 bulan, dan berakhir saat aku lulus SMU dan harus melanjutkan ke perguruan tinggi di kota lain.

TAMAT

Subscribe to receive free email updates: